>> H Mahmud NST
Medan, SBN---Kita sangat prihatin atas tertangkapn tangan oknum Jaksa yang berinisial DSW yang bertugas di Kejaksaaan Negeri Kota Tangerang, Banten yang diduga menerima uang dari pegawai BRI. Atas keprihatinan ini kita mengharapkan kepada Bapak Presiden agar diterbitkan satu peraturan Presiden agar kewenangan Komisi Kejaksaan diperluas dan dipertegas sebagai Peraturan Pelaksana Ps 38 UU No. 16 tahun 2004 yang membenarkan keberadaan Komisi Kejaksaan. Jika perlu Komisi Kejaksaan diberikan kewenangan untuk dapat menindak dekadensi moral yang merusak lembaga Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum di Indonesia.
Dimana Komisi Kejaksaan yang bertugaas dalam rangka ingin mengawasi kinerja Kejaksaan agar profesional, maka dibentuklah suatu lembaga yang disebut dengan Komisi Kejaksaan melalui Perpres No. 18 tahun 2005. dalam Ps 1 ayat (1) Perpres No. 18 tahun 2005 Komisi Kejaksaan adalah lembaga pemerintah.landasan Yuridis Komisi Kejaksaan diatur dalam Ps 38 UU No 16 tahun 2004.
Komposisi personal lembaga Komisi Kejaksaan yang terdiri dari 7 (tujuh) orang, satu orang Ketua dan seorang Wakil Ketua dan lima orang anggota. Anggota Komisi Kejaksaan disebut juga dengan pejabat publik yang diangkat melalui unsur-unsur yang terdiri dari mantan Jaksa, praktisi hukum, akademisi hukum dan anggota masyarakat (Ps. 4 Perpres No.18 tahun 2005).
Tugas Komisi Kejaksaan yang diatur oleh presiden yang menyangkut untuk menyentuh koreksi moral Kejaksaan sudah ditegaskan Komisi Kejaksaan harus melakukan pengawasan, pemantauan, dan penilaian terhadap kinerja Jaksa dan menjalankan tugas dinasnya. Begitu juga mengenai sikap dan prilaku Jaksa di dalam maupun di luar dalam menjalankan tugas kedinasan. Bahkan menganai SDM (Sumber Daya Manusia) di lingkungan kerja Kejaksaan tersebut. Dalam menjalankan tugas ini Jaksa juga ditekankan untuk mentaati norma hukum dan peraturan perundang-undangan (Ps. 10 Perpres No. 18 tahun 2005).
Wewenang Komisi Kejaksaan di dalam mengkoreksi mengenai moral dari Jaksa kesempatan untuk melakukan pemanggilan dan meminta keterangan terhadap Jaksa yang mempunyai kesalahan dan begitu juga terhadap pegawai yang bekerja di kantor Kejaksaan atas adanya laporan dari masyarakat (Ps. 11, 12, 13 Perpres No. 18 tahun 2005).
Sanksi hukum terhadap Jaksa yang melakukan pelanggaran moral hanya diatur di dalam PP No. 30 Th 980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil yang dalam hal ini dianggap mempunyai proses birokrasi yang sangat panjang. Tentu seharusnya diberi suatu kewenangan kepada Komisi Kejaksaan agar segera khusus setiap anggota kejaksaan yang telah melakukan pelanggaran moral langsung dapat diberikan sanksi hukum secara internal di lembaga Kejaksaan. Sebab oknum Kejaksaan adalah merupakan penegak hukum yang harus betul-betul dapat dipercayai oleh masyarakat terhadap kinerjanya sebagai PNS di dalam menjalankan tugasny. Sanksi hukum sebagaimana yang diharapkan harus diatur oleh Perpres secara khusus agar kewenangan Komisi Kejasaksaan diperluas yang artinya dalam membuat keputusan Komisi Kejaksaan melakukan musyawarah dengan menerima masukan dari masyarakat dari tim ahli serta juga dari para pihak yang dikorbankan. Jika perlu sanksi hukum yang tegas dapat diusulkan oleh Komisi Kejaksaan kepada Jaksa Agung agar setiap Jaksa yang melakukan kesalahan dalam perbuatan moral langsung diusulkan untuk dinonaktifkan dan sekaligus di stop.
Kejahatan moral atau disebut juga dekadensi moral yng sering terjadi yang dilakukan oleh Jaksa menjalankan tugasnya adalah sering melakukan penyidikan atau penuntutan memperdagangkan delik delik hukum yang sering disebut dengan mafia hukum. Bahkan melakukan pemerasan terhadap pihak tertentu. Menjalankan kewenangan penahanan yang berlebihan. Perlu kita pahami kejahatan moral adalah suatu kejahatan di dalam menjalankan tugas sebagai penegak hukum telah melanggar nilai nilai atau morma yang berlaku di tengah tengah masyarakat.
Untuk itu kita mengharapkan supaya Presiden di dalam memberikan tugas dan kewenangan Komisi Kejaksaan harus terlebih dahulu melakukan upaya memaksa oknum Jaksa dalam menjalankan tugas kedinasannya menjunjung tinggi moral.
Indikasi kejahatan moral yang sering ditemukan dalam praktek antara lain, oknum Jaksa sebagai Penuntut Umum tidak profesional di dalam menjalankan tugasnya yang menerima berkas dari penyidik. Antara lain berkas yang seharusnya tidak diterima karena tidak lengkap tetapi dipaksakan menjadi perkara pidana. Begitu juga terhadap Tersangka dengan pasal yang ringan tetapi ditahan, jika tidak ada faktor X maka dilakukan penahanan. Begitu juga terhadap melakukan tuntutan. Jaksa juga sebagai penyidik terhadap tindak pidana korupsi sering bertindak diskriminatif, ada yang ditahan atau tidak ditahan dan tidak membuat limit waktu masa proses penyidikan, menetapkan Tersangka hanya sifatnya memenuhi aspirasi agenda reformasi. Artinya mencari kambing hitam karena anak buah yang dijadikan sebagai koruptor. Sedangakan aktor intlektual (Pimpinan) yang menerima jatah hasil korupsi yang besar tidak tersentuh oleh hukum.
Dalam kejahatan moral atau dekdensi moral seperti inilah Presiden memberikan kewenangan yang sangat luas kepada Komisi Kejaksaan agar kepercayaan masyarakat terhadap lembaga Kejaksaan yang profesional bertindak adil, yang mempunyai marwah dapat terwujud kedepan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar