Rabu, 20 April 2011

TERKAIT 7 TKI BERMASALAH DI KINABALU, MALAYSIA : Keluarga TKI Tuntut Pertanggungjawaban Pemerintah RI


# Drs. Bambang Eko    : Oknum Pemerintah Terkait Diduga Terlibat.
# Yuseri (DPP-HIPSI)  : Bukti Lemahnya Pengawasan Pemerintah RI
# Yusuf Teben (LSM PERLAHAN)  : BNP2TKI Mengutamakan Kepentingan PT. TIA

Jakarta, SBN---Pelaksana Penempatan TKI Swasta (PPTKIS) adalah suatu bentuk usaha yang berbadan hukum dan telah memperoleh izin tertulis dari Pemerintah untuk menyelenggarakan pelayanan penempatan TKI di luar negeri. Dalam menjalankan usahanya perusahaan yang menjadi pelaksana penempatan TKI swasta merupakan lembaga yang berhubungan langsung dan bertanggung jawab kepada calon TKI mulai dari tahap perekrutan, pengurusan dokumen, pendidikan dan pelatihan untuk kompetensi kerja, saat penempatan bekerja di negara tujuan dan kepulangan TKI dari negara tempat bekerja sampai di daerah asal TKI tersebut saat direkrut.
     Sebelum merekrut calon TKI setiap perusahaan pelaksana penempatan dimaksud wajib memiliki Surat Izin Pengerahan (SIP). Surat izin ini diberikan Pemerintah kepada perusahaan PPTKIS untuk merekrut calon TKI dari daerah tertentu untuk jabatan tertentu dan untuk dipekerjakan kepada calon Pengguna (majikan) tertentu dalam jangka waktu tertentu.
     Jika saja salah satu dari sekian banyak dokumen yang harus dimiliki calon TKI tidak ada, sudah beresiko bahwa tenaga kerja tersebut tidak memenuhi syarat atau illegal untuk bekerja di negara penempatan. Kondisi yang illegal  ini membuat tenaga kerja yang bersangkutan rentan  terhadap perlakuan yang tidak manusiawi atau kemungkinan perlakuan yang eksploitatif  lainnya di negara tujuan penempatan.
     Terkait pemberitaan TKI bermasalah di Kinabalu, Malaysia yang ditempatkan oleh perusahaan PT. Tenriawaru Indah Abadi (PT. TIA), tim SBN sempat mewawancarai Yusuf Teben dari LSM Pemantau Korupsi dan Penyelamat Harta Negara (LSM PERLAHAN) sebagai salah satu LSM yang peduli terhadap ketujuh nasib TKI tersebut di bilangan Kebon Jeruk, Jakarta Selatan, dalam komentarnya Yusuf mengatakan, kasus 7 TKI yang bermasalah adalah merupakan bukti ketidak pedulian sponsor, PPTKIS dan Pemerintah RI dalam melindungi warganya untuk bekerja di luar negeri. Apa yang telah diberitakan SBN edisi minggu lalu (7 TKI BERMASALAH DI KINABALU, MALAYSIA-red) yang memuat temuan tentang lamban dan lemahnya (kalau tidak mau dikatakan bobrok) kinerja pemerintah RI dalam menjalankan fungsinya. Dalam Peraturan Menakertrans RI No. PER.14/MEN/X/2010 Tentang Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri yang mengacu kepada UURI No. 39/2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, dalam pasal 1 point 7 dan 8 dikatakan bahwa Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) adalah lembaga pemerintah non kementerian yang mempunyai fungsi sebagai pelaksana kebijakan di bidang penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri; dan Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI (BP3TKI) adalah perangkat BNP2TKI yang bertugas memberikan kemudahan pelayanan pemrosesan seluruh dokumen penempatan TKI.
     Yusuf Teben menambahkan, apa yang dimaksud “kemudahan pelayanan pemrosesan seluruh dokumen penempatan TKI” dalam Permenakertrans tersebut diartikan terbalik oleh aparat yang bekerja dibawah gugus tugas BNP2TKI, “kemudahan” tersebut bukan untuk melayani kepentingan TKI, namun semata-mata untuk melayani kepentingan sponsor (petugas lapangan) dan PT. Tenriawaru Indah Abadi (PT. TIA) sebagai perusahaan PPTKIS.
     Sebagai Koordinator Wilayah Sumatera-Jawa di LSM PERLAHAN, dalam mengakhiri keterangan pers saat mendampingi keluarga dari 7 TKI bermasalah tersebut, Yusuf  mengatakan, jika dalam waktu dekat ini permasalahan yang dihadapi para TKI dimaksud tidak segera di respon positif oleh PT. TIA dan BNP2TKI maka beliau akan melaporkan kasus ini ke Mabes POLRI dan instansi terkait lainnya.
     Perlu diketahui bahwa PT. TIA adalah sebuah perusahaan PPTKIS yang menjalankan bisnisnya dengan mengambil tempat di Gedung Gajah, Jl. Dr. Saharjo Raya, Tebet-Jaksel. Dengan mengantongi SIPPTKI No. Kep-785/MEN/2006, perusahaan ini telah merekrut 7 TKI di beberapa kampung di Kec. Karangtengah, Cianjur, Prov. Jawa Barat tanpa terlebih dahulu meminta rekomendasi dari Pemkab. Cianjur c/q Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans) setempat, mengutip secara melawan hukum uang sebesar Rp.6 juta per TKI (diluar dari komponen biaya resmi-red) oleh petugas lapangannya, memaksa ketujuh calon TKI untuk segera berangkat ke Malaysia, dan mengancam jika tidak mau akan dikenakan denda yang harus segera dibayar oleh ketujuh TKI ke perusahaan sebesar Rp.12 juta, tanpa meminta izin tertulis dari keluarga para Calon TKI, membuat paspor diluar dari wilayah kerja Kantor Imigrasi (Kanim) setempat yakni di Kanim Klas I Jakarta Timur, membuat informasi bohong terhadap apa yang seharusnya diterima oleh ketujuh Calon TKI, serta membuat Perjanjian Kerja tanpa disaksikan oleh pejabat terkait dan melanggar standar baku Perjanjian Kerja yang sudah ditentukan pemerintah (dalam dua bahasa-red), yakni bahasa Indonesia dan bahasa negara tujuan atau bahasa internasional. Hal tersebut diatas merupakan beberapa unsur dari sekian banyak unsur penting lainnya di dalam UURI, No. 39/2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri dan Permenakertrans RI, No. PER.14/MEN/X/2010 Tentang Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan di Luar Negeri.
     Selain itu ada beberapa unsur penting yang ada di substansi pasal-pasal dalam UURI, No. 21/2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang diduga kuat telah dilanggar oleh PT. TIA ketika merekrut, mengurus dokumen sampai menempatkan ketujuh TKI dimaksud untuk bekerja di Kinabalu, Malaysia. 
Menyikapi hal ini, Yusweri seorang aktifis buruh yang menjabat sebagai Ketua Umum DPP Federasi Serikat Pekerja Nasional Indonesia (FSPNI) dan juga sebagai salah satu staf Bidang Hukum DPP Himpunan Insan Pers Seluruh Indonesia (HIPSI) ketika dimintai tanggapannya mengatakan, inilah bukti kinerja pemerintah RI yang amburadul dan lemahnya pengawasan terhadap perusahaan yang melaksanakan penempatan TKI ke luar negeri. Terkesan bahwa Pemerintah RI hanya membela kepentingan perusahaan, dengan mudahnya BP3TKI Jakarta menyatakan ketujuh calon TKI asal Cianjur yang direkrut PT. TIA ini diloloskan saat pelaksanaan Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP) dan saat verifikasi dokumen Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN) tanpa dengan teliti memeriksa berkasnya.
     Yusweri menambahkan, apa yang telah dilakukan oleh PT.TIA terhadap ketujuh calon TKI yang mereka tempatkan bekerja di Kinabalu, Malaysia sangat tidak sesuai dengan substansi yang terkandung di dalam UURI, No. 39/2004 dan Permenakertrans RI, PER.14/MEN/X/2010. Bukti yang merupakan pelanggaran terhadap unsur-unsur yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan RI sudah terpenuhi, semua data sudah ada, dan kuasa dari para keluarga TKI yang bermasalah juga sudah menyurati intansi yang terkait lengkap dengan bukti-buktinya. Mari kita lihat bagaimana Pemerintah mengambil sikap, beranikah Pemerintah RI menjatuhkan sanksi administrasi dan ataupun pidana kepada Direktur Utama PT. TIA beserta aparat Pemerintah RI yang sangat patut diduga telah terlibat melakukan kolusi dalam proses pemberian izin kepada tujuh calon TKI dimaksud untuk ditempatkan bekerja di Kinabalu, Malaysia? Dengan nada tinggi Yusweri mengakhiri komentarnya bahwa HIPSI sebagai organisasi pers dan kemasyarakatan akan menjalankan fungsi sosial kontrolnya untuk mengawal sikap yang akan diambil Pemerintah RI terhadap temuan kasus 7 TKI bermasalah ini, HIPSI akan memantau sampai sejauh mana sikap tegas Pemerintah dalam menjalankan sistem pengawasan pelaksanaan penempatan TKI ke luar negeri.
     Ditempat terpisah, kuasa dari para keluarga TKI bermasalah tersebut, Drs. Bambang Eko Munadi di rumahnya bilangan Cidodol Raya-Jakarta Selatan, Rabu (13/4) lalu mengatakan bahwa Kamaludin salah satu dari 7 TKI bermasalah tersebut sudah berada di rumahnya Kp. Bunut, Kec. Karangtengah, Cianjur. Namun 6 orang lagi yakni; Sopiyan, Sulaeman, Suganda, Yana, Abdul Rahman dan Ondi masih berada di Malaysia. Saya akan upayakan terus kepulangan mereka sampai ke tempat asal. Awalnya saya tidak menyangka bahwa Pemerintah Pusat akan mempersulit dan cenderung membela kepentingan pihak perusahaan PT. TIA, tapi setelah sekian lama saya mengurus kepulangan tujuh TKI bermasalah tersebut terlihat adanya ketidak becusan Pemerintah dalam menangani permasalahan penempatan TKI di luar negeri. Pemerintah tidak serius menyelesaikan kasus 7 TKI bermasalah, sampai sekarang dokumen yang berhubungan dengan pemberangkatan 7 TKI ke Malaysia yang diminta kepada mereka belum ada kami terima. Saat BP3TKI memediasi pertemuan antara keluarga ke-tujuh TKI bermasalah dengan pihak PT. TIA justru pihak BP3TKI terkesan membela kepentingan perusahaan.   Hal ini yang menyebabkan hati nurani saya terpanggil untuk lebih perduli terhadap nasib mereka. Mengenai proses perekrutan sampai saat pengiriman mereka ke Kinabalu, Malaysia akan ditindaklanjuti melalui jalur hukum mulai dari PT. TIA sampai ke akar-akarnya. Para keluarga TKI sudah sepakat untuk menindaklanjuti persoalan yang menimpa keluarganya. Mereka menginginkan penegakkan hukum yang benar sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada, tujuannya adalah untuk membuat efek jera terhadap setiap pelaku yang melanggar undang-undang.
     Ditambahkannya bahwa beberapa hari yang lalu beliau sudah berkonsultasi dengan pihak Bareskrim Mabes POLRI mengenai UURI No. 21/2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, agaknya unsur-unsur yang dimaksud dalam pasal-pasal UURI tersebut sudah terpenuhi. Tinggal nanti bagaimana kami untuk melaporkan secara resmi ke Mabes POLRI setelah kepulangan keenam TKI lainnya, kami bergabung dengan LSM PERLAHAN dan DPP HIPSI.
     Melalui telepon selular, SBN bertanya kepada Kamaludin yang sudah pulang ke Indonesia pada Sabtu (9/4) lalu, beliau membenarkan bahwa sekarang sudah berkumpul dengan keluarganya di Kp. Bunut, namun saya masih merisaukan nasib keenam rekan saya yang masih sangkut di Malaysia, tolonglah mereka pak wartawan. Mereka sudah tak tahan lagi berlama-lama di Malaysia, karena semua informasi yang kami terima di Kampung tidak sesuai dengan kenyataan yang kami hadapi di Kinabalu. Sekarang kami sudah menanggung beban hutang sebesar Rp.6 juta yang dikutip oleh sponsor nya perusahaan Elit (PT. TIA-red). Kami menggadaikan sawah kami untuk membayar uang tersebut. Sekarang bagaimana caranya saya melunasi hutang tersebut. Ketika SBN menanyakan bukti mereka telah membayar kepada petugas lapangan PT. TIA, Kamaludin mengatakan bahwa saat itu pihak sponsor ada mengeluarkan bukti pembayaran berupa kwitansi yang kami tandatangani, bukti kwitansi itu masih ada, demikian Kamaludin mengakhiri cerita pahitnya kepada Tim SBN.
     Sementara ketika SBN mencoba konfirmasi ke pihak PT. TIA di Gedung Gajah, Jl. Dr. Saharjo, Tebet-Jakarta Selatan, Tim hanya menemukan kantor PT.TIA yang sudah ditutup dan ada tulisan “DIJUAL”, dari informasi yang dihimpun, PT.TIA telah pindah ke daerah Kalibata.
     Saat SBN menghubungi via telepon selular untuk memintai tanggapan salah satu staf Dir. Pengamanan BNP2TKI terkait masalah 7 TKI di Malaysia, dengan agak ketus Yuli mengatakan “saya belum tau persis masalahnya, kalau sudah tau mana yang salah kita tidak perlu memperkeruh masalah yang sudah ada”
Nantikan berita lanjutan di edisi minggu depan yang bertujuan bukan untuk memperkeruh masalah.SSS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar